
Dulu semasa kecil saya sering salah menganggap Purwakarta sama dengan Purwokerto. Ya, sama halnya dengan Jogjakarta dan Yogyokarto (cara orang jawa menyebut Jogja). Ada masa di mana perkara huruf “o” dan “a” di Jawa memiliki kesamaan makna. Semakin besar semakin saya tahu bahwa ternyata keduanya berbeda. Jika dulu kami lebih dekat dengan Purwokerto sekarang kami lebih dekat dengan Purwakarta.
Sayangnya sudah hampir 10 tahun di Jakarta tapi belum pernah saya berkunjung ke kota pensiunan ini. Disebut pensiunan karena kota ini tenang dan jauh dari hiruk pikuk kota, cocok untuk dibuat tempat tinggal ketika masa pensiun. Soal ini sepertinya Purwakarta benar harus bersaing dengan Purwokerto yang pernah disebut-sebut sebagai kota paling nyaman untuk ditinggali sekaligus slow living.
Di luar soal kenyamanan, faktanya saya belum pernah dan ingin mengunjungi keduanya. Oke, kalau begitu dimulai dengan yang jaraknya paling dekat yaitu Purwakarta.
Beberapa minggu lalu saya dan suami berhasil ke Purwakarta dengan menggunakan tiket kereta Walahar seharga 4 ribu rupiah. Tujuan utamanya memang menjajal Walahar tapi saya juga pakai kesempatan itu untuk berkeliling sebentar di kota Purwakarta. Saya punya waktu 4 jam sebelum kembali ke Cikarang.
Kami memilih kereta balik pukul 13.35 karena kalau memilih jadwal sore kemungkinan sampai ke rumah akan jauh lebih malam. Karena waktu terbatas kami pun bergegas. Tanpa agenda, tanpa tujuan kami langsung saja melangkah ke luar stasiun. Belum sampai tengah hari tapi panas di kota ini sudah menyengat di kulit.
Hal pertama yang kami lakukan adalah membeli es cendol di depan stasiun. Harganya murah cuma 5 ribu rupiah tapi cukup untuk sedikit memanjakan tenggorokan di tengah panas yang tak karuan. Kami membuka payung, oke lebih tepatnya saya yang memaksa pakai payung.